gogoBengkulu

Hancurkan dan Bangun Kembali

Hukum Sebab-Akibat dan Peluang Juli 8, 2010

Filed under: Loker Filsafat — gogo @ 1:52 pm

Salah satu dari masalah yang dihadapi oleh para pelajar filsafat atau ilmu pengetahuan adalah ketika satu istilah tertentu digunakan, yang maknanya seringkali berbeda dengan maknanya sehari-hari. Salah satu masalah pokok dalam sejarah filsafat adalah hubungan antra kebebasan dan keharusan, satu masalah kompleks, yang dibuat lebih rumit setelah ia muncul dalam berbagai rupa – kausalitas dan peluang, keharusan dan kebetulan, determinisme dan indeterminisme.
Kita semua tahu dari pengalaman sehari-hari apa yang kita maksud dengan “keharusan”. Ketika kita “harus” melakukan sesuatu, itu berarti kita tidak memiliki pilihan lain. Kita tidak dapat melakukan hal yang lain. Definisi keharusan dalam kamus adalah satu himpunan keadaan lingkungan yang mendesak sesuatu untuk diadakan atau dilakukan, khususnya menyangkut satu hukum alam raya, tidak terpisah dari, dan mengatur, kehidupan dan tindakan manusia. Ide tentang keharusan fisik menyangkut pandangan tentang tekanan dan keterbatasan. Hal ini nampak jelas dalam kalimat-kalimat semacam “tunduk pada keharusan”. Hal ini terdapat pula dalam pepatah seperti “keharusan tidak mengenal aturan”.

Dalam makna filsafati, keharusan berkerabat erat dengan kausalitas, hubungan antara ­sebab dan akibat – satu tindakan atau peristiwa tertentu yang mengharuskan timbulnya satu hasil yang tertentu pula. Contohnya, jika saya berhenti bernafas selama satu jam, saya akan mati, atu jika saya menggesek dua tongkat satu sama lain, saya akan menghasilkan panas. Hubungan antara sebab dan akibat, yang dipastikan oleh sejumlah besar pengamatan dan percobaan praktek, memainkan peran sentral dalam ilmu pengetahuan. Sebaliknya, kebetulan dianggap sebagai sebuah peristiwa yang tidak diharapkan, yang terjadi tanpa sebab yang jelas, seperti ketika kita tersandung ubin yang pecah, atau menjatuhkan mangkuk di dapur. Walau demikian, dalam filsafat, kebetulan adalah sebuah ciri yang hanya merupakan atribut ikutan, yaitu, sesuatu yang bukan merupakan bagian dari cirinya yang hakiki. Sebuah kebetulan adalah sesuatu yang tidak harus ada, dan yang peluangnya untuk tidak terjadi sama besarnya dengan peluangnya untuk terjadi. Mari kita lihat satu contoh.

Jika saya menjatuhkan selembar kertas, biasanya ia akan jatuh begitu saja ke lantai, karena hukum-hukum gravitasi. Ini adalah contoh dari kesebaban, dari keharusan. Tapi jika mendadak ada angin bertiup, kertas itu akan melayang pergi begitu saja, hal yang akan dilihat sebagai kebetulan. Maka keharusan diatur oleh sebuah hukum, dan dapat dinyatakan dan diramalkan secara ilmiah. Hal-hal yang terjadi karena keharusan adalah hal-hal yang tidak bisa tidak harus terjadi. Di pihak lain, kejadian-kejadian acak, hal-hal yang tidak diharapkan, adalah kejadian-kejadian yang bisa atau tidak bisa terjadi; mereka tidak diatur satu hukum tertentu yang dapat dinyatakan dengan jelas dan karena sifat hakikinya, tidak dapat diramalkan.

Pengalaman hidup meyakinkan kita bahwa baik keharusan maupun kebetulan benar-benar ada dan memainkan suatu peran. Sejarah ilmu pengetahuan dan masyarakat menunjukkan hal yang persis sama. Seluruh hakikat dari sejarah ilmu pengetahuan adalah pencarian pola yang mendasari alam raya. Kita telah belajar sejak masa kanak-kanak untuk membedakan apa yang hakiki dan apa yang tidak hakiki, apa yang menjadi keharusan dan apa yang kebetulan. Bahkan ketika kita menjumpai satu kondisi perkecualian yang terasa “aneh” bagi kita dalam tingkatan pengetahuan yang kita miliki, seringkali ternyata pengalaman berikutnya mengungkap keteraturan yang berbeda jenisnya, dan hubungan sebab-akibat yang lebih dalam, yang tidak segera nampak secara sepintas.

Pencarian akan satu pemahaman rasional akan dunia yang kita diami ini berhubungan sangat dekat dengan kebutuhan untuk menemukan kausalitas. Seorang anak kecil, dalam prosesnya belajar tentang dunia, akan selalu bertanya “mengapa?” – yang selalu dianggap gangguan oleh orang tuanya, yang seringkali kebingungan harus menjawab apa. Berdasarkan pengamatan dan pengalaman, kita merumuskan satu hipotesis tentang apa yang menyebabkan terjadinya satu gejala. Inilah dasar dari semua pemahaman rasional. Biasanya, hipotesis-hipotesis ini pada gilirannya melahirkan ramalan mengenai hal-hal yang belum kita alami. Ramalan-ramalan ini kemudian dapat diuji, baik melalui pengamatan ataupun praktek. Ini bukan hanya penggambaran tentang sejarah ilmu pengetahuan, tapi juga satu bagian penting dari perkembangan mental dari tiap manusia dari awal masa kanak-kanak sampai seterusnya. Dengan demikian ia mencakup perkembangan intelektual dalam maknanya yang terluas, dari mulai proses pembelajaran yang paling dasar dari seorang anak sampai telaah tentang jagad raya.

Keberadaan kausalitas ditunjukkan oleh sejumlah besar pengamatan. Semua ini memungkinkan kita membuat ramalan-ramalan penting, bukan hanya dalam ilmu pengetahuan tapi juga dalam kehidupan sehari-hari. Semua orang tahu bahwa jika air dididihkan sampai suhu 100oC ia akan berubah menjadi uap. Inilah dasar, bukan hanya untuk pembuatan secangkir teh, tapi juga untuk revolusi industri, yang telah menjadi dasar bagi seluruh kehidupan masyarakat kita kini. Masih juga ada para filsuf dan ilmuwan yang menegaskan dengan serius bahwa uap tidak dapat dikatakan disebabkan oleh pemanasan air. Fakta bahwa kita dapat membuat ramalan mengenai sejumlah besar peristiwa itu sendiri adalah bukti bahwa kausalitas bukanlah sekedar satu cara yang enak untuk menggambarkan berbagai hal tapi, seperti yang ditunjukkan David Bohm, merupakan aspek yang inheren dan hakiki dari segala hal. Sesungguhnya, mustahillah bahkan untuk menentukan ciri-ciri segala hal tanpa mengandalkan kausalitas. Contohnya, ketika kita berkata bahwa sesuatu adalah merah, kita menyatakan bahwa ia akan bereaksi dengan cara tertentu ketika dikenai kondisi tertentu – yaitu, satu objek berwarna merah didefinisikan sebagai sesuatu yang jika dikenai cahaya putih akan memantulkan cahaya merah. Mirip dengan itu, fakta bahwa air menjadi uap ketika dipanaskan, dan menjadi es ketika didinginkan, adalah pernyataan dari sebuah hubungan sebab-akibat kualitatif yang merupakan bagian dari sifat-sifat utama dari cairan ini, tanpanya ia bukan lagi air. Hukum matematik umum tentang pergerakan benda bergerak merupakan pula sifat-sifat hakiki dari benda-benda itu, tanpanya mereka tidak akan menjadi seperti apa mereka yang kita kenal. Contoh itu dapat digandakan tanpa batas. Dalam rangka memahami mengapa dan bagaimana sebab-akibat berkait erat dengan sifat-sifat hakiki segala hal, tidaklah cukup untuk memandang hal-hal tersebut secara statis dan saling terpisah satu sama lain. Perlulah untuk memandang segala hal sebagaimana adanya, sebagaimana mereka pernah ada, dan sebagaimana mereka akan harus ada – yaitu, menelaah segala hal sebagai proses.

Untuk memahami kejadian-kejadian tertentu, tidak perlu untuk merinci semua sebab. Sesungguhnya, hal ini juga mustahil. Jenis determinisme absolut yang diajukan oleh Laplace sebetulnya telah dijawab sebelum masalah itu diajukan oleh Spinoza dalam kutipan cerdas berikut ini:

“Contohnya, jika sebutir batu jatuh dari atap ke atas kepala seorang yang sedang lewat dan membunuhnya, mereka akan menunjukkan melalui cara berargumen mereka bahwa batu itu dikirim untuk jatuh dan membunuh orang itu; karena jika batu itu tidak jatuh untuk tujuan itu, dengan kehendak Tuhan, bagaimana mungkin begitu banyak lingkup kejadian (karena seringkali begitu banyak lingkup kejadian yang terjadi pada saat bersamaan) mengarah ke situ secara kebetulan? Anda akan menjawab, mungkin: ‘Angin sedang bertiup dan orang itu harus melintas di situ, maka terjadilah hal itu.’ Tapi mereka akan membalas: ‘Mengapa angin bertiup pada saat itu? Dan mengapa orang itu berjalan ke arah itu pada saat itu?’ Jika Anda menjawab lagi: ‘Angin bertiup karena pasang naik di laut pada hari sebelumnya, cuaca sebelumnya tenang, dan orang itu berjalan di situ karena sedang memenuhi undangan seorang kawan,’ mereka akan menjawab lagi, karena tidak ada ujungnya pertanyaan ini: ‘Mengapa laut pasang, dan mengapa orang itu diundang pada saat itu?’

“Dan mereka akan terus mengejar Anda dari sebab ke sebab sampai Anda akan rela mengungsi ke dalam kehendak Tuhan, yaitu, penampungan terhadap segala ketidaktahuan. Demikian pula, ketika mereka melihat tubuh manusia mereka terkagum-kagum, dan karena mereka tidak memahami sebab dari seni yang demikian indah itu, mereka menyimpulkan bahwa itu bukanlah hasil sebuah seni mekanik, tapi seni yang bersifat ketuhanan atau supernatural, dan yang dibangun dengan cara tertentu sehingga satu bagian tidaklah mencederai bagian lainnya. Dari situlah munculnya kenyataan bahwa orang yang ingin mencari tahu sebab sejati dari segala mukjizat, dan memahami berbagai hal di alam sebagaimana halnya pemahaman seorang terpelajar, bukannya terbengong menatap seperti seorang dungu, akan dianggap sebagai orang murtad dan pendosa, dan dinyatakan demikian oleh mereka yang dianggap oleh gerombolan itu sebagai penerjemah kejadian alam dan penyampai kehendak Tuhan. Karena mereka tahu bahwa sekali ketidaktahuan disingkirkan maka keajaiban, yang selama ini menjadi satu-satunya cara berargumen dan pertahanan terhadap kekuasaan mereka, itu akan pula disingkirkan.

 

Tinggalkan komentar